Girl #2
Aku jalani hari-hariku dengan menatap layar handphone, melamun di depan jendela kamar, atau menendang bola di taman kecil yang tak jauh dari rumah. Atau bahkan menuliskan jawaban atas pertanyaan yang ada di dalam buku berkertas kualitas rendah yang memaksaku untuk membelinya.
Hari ini aku sedang terbaring di atas lantai berubin putih. Cuaca hari ini cukup panas untuk menuakan kulitku yang berwarna coklat ini. Sepatuku lebih bisa di bilang sebuah pemanggang. Mungkin ketika aku buka sepatu ini kakiku sudah matang dengan bau khas kaus kaki. Aku menatap sepatu lamaku. Masih terlihat bagus. Aku semakin larut dalam tatapanku terhadap sepatu itu. Aku tahu kenapa. Aku tidak akan menghentikan lamunan itu untuk sekarang, biarkan kenangan itu datang dan mengurungku sesaat.
...
Aku diam duduk menyandar pada dinding putih di belakangku. Menatap wajah-wajah asing di sekitarku. Menghafal setiap warna di tubuh-tubuh mereka. Tak terlewat dengan sikap-sikap yang baru kupelajari. Menyamankan posisiku di dalam ruangan pengap yang berisi puluhan orang dengan bau badan yang berbeda-beda. Dan beberapa di antara merka pernah ku kenal sebelumnya.
Tak pernah ku bayangkan aku akan duduk di tempat ini. Terkurung oleh nilai, uang dan kewajiban serta hak yang ku miliki. Semua itu hanya untuk sensasi yang akan selalu aku rasakan dalam kurun waktu kurang lebih enam belas tahun.
Aku menatap sesosok wanita yang diam. Seingatku ia tak pernah mau menunjukan matanya kepada siapapun dari kemarin. Dia membuatku berpikir. Apa ia mengikuti tingkahku selama ini?. Apa peduliku dengan wanita yang mengasingkan diri itu?.
"Lusiana..."
...
Tanpa sadar aku mengucapkan nama itu lagi. Nama yang berusaha ku buang jauh dari mulutku ini. Aku segera berlari menuju kamarku. Tak boleh aku tenggelam sejauh itu untuk kenangan yang dulu. Aku tidak akan menjadi pengecut lagi untuk kedua kalinya. Aku adalah seorang laki-laki yang berani bukan pengecut yang melarikan diri dari segala situasi. Aku bisa memimpin diriku sendiri bukan dipimpin oleh dirinya lagi. Aku adalah aku.
Aku melempar tas abu-abu itu ke samping kasur. Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Menatap kosong ke arah lampu di hadapanku. Mengatur nafasku. Kenangan itu menguras emosiku. Aku menatap handphone yang berada di meja kecil di pojok ruangan.
Semua ini salah lo, Lu!
Seandainya aku bisa berteriak namanya. Tapi, semua itu hanya akan membuatku gila lebih gila dari keadaan ku sekarang ini. Orang-orang asing itu masing berjalan melewati rumahku. Tak mungkin aku berteriak namanya begitu saja diantara keramaian manusia-manusia ini.
Kenapa gue...
Aku mengehentikan kalimat itu agar aku tidak memikirkannya kembali, kembali, dan kembali. Aku tidak bisa menemukan tempat pelarian yang bisa menjauhkanku darinya.
Kamu!!
Aku meraih tas. Mengeluarkan satu-satu buku yang ada di dalamnya. Hingga satu buku bersampul biru muda. Aku menatapnya sesaat sebelum aku membuka halaman pertamanya. Hanya ada kata-kata dalam kotak yang di hubungkan dengan garis tipis buatan pensil hijau tua yang tak sengaja tertukar hingga kini. Aku baru melamun ketika menatap halaman kedua dari buku coretan pusing itu. Susunan kalimat yang persis sama dengan miliknya. Aku segera menutupnya setelah sadar dan kembali ke dunia nyata.
Aku menyimpan buku-buku itu di atas meja kecil. Aku menatap handphone yang terus menggodaku. Aku segera berlari ke dapur berusaha mengalihkan perhatianku dari rasa ingin tahuku yang semakin hari semakin besar.
Kebohongan hanya akan membawa bencana. Tidak hanya bencana untukku tapi jugabuntuk dirimu yang tak seharusnya ikut merasakan dosa yang aku buat ini. Seharusnya aku menyadari semua ini! Tapi ini semua karena kecerobohanmu. Aku benci dirimu!
Hari ini aku sedang terbaring di atas lantai berubin putih. Cuaca hari ini cukup panas untuk menuakan kulitku yang berwarna coklat ini. Sepatuku lebih bisa di bilang sebuah pemanggang. Mungkin ketika aku buka sepatu ini kakiku sudah matang dengan bau khas kaus kaki. Aku menatap sepatu lamaku. Masih terlihat bagus. Aku semakin larut dalam tatapanku terhadap sepatu itu. Aku tahu kenapa. Aku tidak akan menghentikan lamunan itu untuk sekarang, biarkan kenangan itu datang dan mengurungku sesaat.
...
Aku diam duduk menyandar pada dinding putih di belakangku. Menatap wajah-wajah asing di sekitarku. Menghafal setiap warna di tubuh-tubuh mereka. Tak terlewat dengan sikap-sikap yang baru kupelajari. Menyamankan posisiku di dalam ruangan pengap yang berisi puluhan orang dengan bau badan yang berbeda-beda. Dan beberapa di antara merka pernah ku kenal sebelumnya.
Tak pernah ku bayangkan aku akan duduk di tempat ini. Terkurung oleh nilai, uang dan kewajiban serta hak yang ku miliki. Semua itu hanya untuk sensasi yang akan selalu aku rasakan dalam kurun waktu kurang lebih enam belas tahun.
Aku menatap sesosok wanita yang diam. Seingatku ia tak pernah mau menunjukan matanya kepada siapapun dari kemarin. Dia membuatku berpikir. Apa ia mengikuti tingkahku selama ini?. Apa peduliku dengan wanita yang mengasingkan diri itu?.
"Lusiana..."
...
Tanpa sadar aku mengucapkan nama itu lagi. Nama yang berusaha ku buang jauh dari mulutku ini. Aku segera berlari menuju kamarku. Tak boleh aku tenggelam sejauh itu untuk kenangan yang dulu. Aku tidak akan menjadi pengecut lagi untuk kedua kalinya. Aku adalah seorang laki-laki yang berani bukan pengecut yang melarikan diri dari segala situasi. Aku bisa memimpin diriku sendiri bukan dipimpin oleh dirinya lagi. Aku adalah aku.
Aku melempar tas abu-abu itu ke samping kasur. Aku menjatuhkan tubuhku di atas kasur. Menatap kosong ke arah lampu di hadapanku. Mengatur nafasku. Kenangan itu menguras emosiku. Aku menatap handphone yang berada di meja kecil di pojok ruangan.
Semua ini salah lo, Lu!
Seandainya aku bisa berteriak namanya. Tapi, semua itu hanya akan membuatku gila lebih gila dari keadaan ku sekarang ini. Orang-orang asing itu masing berjalan melewati rumahku. Tak mungkin aku berteriak namanya begitu saja diantara keramaian manusia-manusia ini.
Kenapa gue...
Aku mengehentikan kalimat itu agar aku tidak memikirkannya kembali, kembali, dan kembali. Aku tidak bisa menemukan tempat pelarian yang bisa menjauhkanku darinya.
Kamu!!
Aku meraih tas. Mengeluarkan satu-satu buku yang ada di dalamnya. Hingga satu buku bersampul biru muda. Aku menatapnya sesaat sebelum aku membuka halaman pertamanya. Hanya ada kata-kata dalam kotak yang di hubungkan dengan garis tipis buatan pensil hijau tua yang tak sengaja tertukar hingga kini. Aku baru melamun ketika menatap halaman kedua dari buku coretan pusing itu. Susunan kalimat yang persis sama dengan miliknya. Aku segera menutupnya setelah sadar dan kembali ke dunia nyata.
Aku menyimpan buku-buku itu di atas meja kecil. Aku menatap handphone yang terus menggodaku. Aku segera berlari ke dapur berusaha mengalihkan perhatianku dari rasa ingin tahuku yang semakin hari semakin besar.
Kebohongan hanya akan membawa bencana. Tidak hanya bencana untukku tapi jugabuntuk dirimu yang tak seharusnya ikut merasakan dosa yang aku buat ini. Seharusnya aku menyadari semua ini! Tapi ini semua karena kecerobohanmu. Aku benci dirimu!
Komentar
Posting Komentar