Postingan

#VoiceGirlHeartBoy

Lusiana. Aku diam tanpa kata. Jantungku berdetak. Hanya terdengar suara gesekan daun-daun bambu akibat angin yang melewati mereka. Aku menundukkan kepala menatap meja. Baru kali ini aku melihatnya ada sebelum aku sampai. Indi. Seperti biasa aku duduk diam dan bersandar pada dinding putih di belakangku. Satu meter di depanku, seseorang dengan duduk menunggu dengan gelisah. Aku tahu dia bukan menunggu atau melamun sembarangan. Apa mungkin ini waktu yang baik untukku mengatakannya? Lusiana. Apa sebaiknya aku menatapnya? Aku merasa di awasi olehnya. Kenapa makhluk-makhluk itu tidak sampai juga. Aku benar-benar sudah tidak nyaman di ruangan ini. Aku berdiri, hendak pergi dari ruangan. Indi. Aku terkejut ketika dia tiba-tiba bangkit.aku segera membuka tas abu-abu milikku. Entah kenapa aku tidak bisa menemukan buku bersampul biru muda itu. Lusiana. Aku mengambil handphone di dalam tas berwarna pink itu. Aku berniat mencari sinyal Wi-Fi untuk menghilangkan ketegangan yang kurasakan. ...

Girl #4

Baru semalam tapi dia sudah memenuhi kotak pemberitahuanku. Aku setengah menyesal melakukan hal itu dan setengahnya lagi aku senang, aku jadi bisa mengawasinya dengan leluasa tanpa harus menatapnya yang sering membuatnya curiga. Aku senang sekali bisa membaca nama alaynya dengan lengkap. Sebenarnya itu bukan nama alay akan tetapi nama kecilnya tapi tetap saja itu terlihat alay. Sesuai dugaanku dia akan tidak terkendali. Dia sadar jika yang membuat diriku menjauh adalah sikapnya yang seperti itu. Tapi, sepertinya dia tidak takut kehilangan dan percaya sepenuhnya jika aku akan terus ada bersamanya. Tidak sembarang orang bisa mempercaya orang yang baru ia kenal sepenuhnya, tapi berbeda dengannya. Aku baru mengenalnya dan langsung menyukainya, dan dia langsung memberikan kepercayaan penuh padaku mungkin karena itulah aku menyukainya. Tak ada yang istimewa jika kau melihat fisiknya. Dia tidak lebih seperti gadis desa lainnya, namun di dalam wujud dunianya ada rasa kasih sayang yang besar ...

Girl #3

Aku kembali ke dalam kamarku setelah perutku diisi puluhan gram karbohidrat, lemak, protein, mineral, dan kawan-kawan mereka. Tubuhku berhenti setelah mendengar sebuah tawa yang selalu ku nikmati selama enam bulan terakhir. Tawa sederhana karena hanya berbunyi hahahah tidak seperti kebanyakan orang yang kukenal seumur hidupku. Aku mendekati jendela kamarku. Menatap sosok yang mengendong tas besar yang memiliki warna sebagai penanda jika tas ini milik seorang wanita. Ia berjalan ringan melewati rumahku. Aku menatap jalan yang memantulkan suhu panas dari matahari. Tangan mengepal dan memukul bibir jendela. Memarihi dirinya tanpa mengeluarkan bunyi apapun. Aku membencinya, tapi hal itu tak pernah terjadi dengan nyatanya. Dengan kondisi seperti ini tak mungkin aku membencinya. Untuk sekarang aku hanya berusaha untuk membuat dirinya benci sebelum aku membencinya. Itu semua agar aku bisa tenang mengakhiri rasa yang setiap kali bergejolak. Aku meraih handphone. Jari tanganku dengan lihai me...

Girl #2

Aku jalani hari-hariku dengan menatap layar handphone, melamun di depan jendela kamar, atau menendang bola di taman kecil yang tak jauh dari rumah. Atau bahkan menuliskan jawaban atas pertanyaan yang ada di dalam buku berkertas kualitas rendah yang memaksaku untuk membelinya. Hari ini aku sedang terbaring di atas lantai berubin putih. Cuaca hari ini cukup panas untuk menuakan kulitku yang berwarna coklat ini. Sepatuku lebih bisa di bilang sebuah pemanggang. Mungkin ketika aku buka sepatu ini kakiku sudah matang dengan bau khas kaus kaki. Aku menatap sepatu lamaku. Masih terlihat bagus. Aku semakin larut dalam tatapanku terhadap sepatu itu. Aku tahu kenapa. Aku tidak akan menghentikan lamunan itu untuk sekarang, biarkan kenangan itu datang dan mengurungku sesaat. ... Aku diam duduk menyandar pada dinding putih di belakangku. Menatap wajah-wajah asing di sekitarku. Menghafal setiap warna di tubuh-tubuh mereka. Tak terlewat dengan sikap-sikap yang baru kupelajari. Menyamankan posisiku ...

Girl #1

Hari rabu. Jam sebelas siang waktu setempat. Aku diam duduk tanpa melakukan hal yang lain. Ya tentunya selain bernafas dan berkedip tentunya. Hari ini aku tidak terlalu bersahabat dengannya. Jika aku melakukan hal lain lagi aku takut jika dia akan semakin tidak menyukaiku. Aku tidak ingin itu terjadi. Cukup untukku merasa sebagai pengecut karena tidak berani mengungkapkan perasaan ini padanya. Aku mundur darinya karena aku merasa jika aku adalah seorang pecundang untuk dirinya yang jauh lebih tinggi pengetahuannya di bandingkanku. Terakhir kali aku melihatnya, ia sedang duduk menyendiri di pojok ruangan sambil mendengarkan musik sekeras-kerasnya dari handphonenya. Aku tidak ingin melihatnya karena aku yakin jika dia akan langsung menangkap basah diriku yang sedang berusaha untuk menjauh darinya sekalipun takkan mungkin untuk tiga tahun sekarang. Pandangan pertamaku yang menyebalkan. Jika tahu akan seperti ini aku tidak akan memulai untuk benar benar jauh hati padanya. Semua kebodohank...

Boy #4

Beruntungnya itu hanya lamunanku. Drama di dunia fantasiku. Kenangan yang terpaksa harus di akhiri tanpa ending yang pasti. Itu memang nyata tapi hanya terjadi untuk detik-detik yang berlalu. Dan aku akan kembali ke posisiku yang selama lima tahun mencari seseorang dengan menunggu dan hanya bisa menatap depan rumahnya lewat google maps. Lima tahun yang lalu. Aku sudah memegang sebuah alat canggih yang ketika itu belum dimiliki oleh siswa mana pun di sekolah. Di alat itu aku memiliki sebuah gambar yang menunjukkan dirimu yang berdiri tepat di depanku. Namun, sayangnya aku harus mencarimu tanpa bukti wujudmu dalam gambar itu. Aku tidak pernah sengaja mendoakannya. Aku hanya menyematkan namanya dalam setiap rindu yang mengebu di hatiku. Aku sering mengatakan hal itu pada orang-orang jadi wajar jika dia sangat sensitif mendengar aku berbicara hal itu-itu saja. Dia sering melarikan diri keluar. Dan sekarang aku yang sering melakukan itu. Aku tidak tahu jika sekarang dia sudah melepaskan...

Boy #3

Hari ini dia diam. Tak banyak bertingkah. Bicara seperlunya. Menyontek semampunya. Tertawa sebisanya. Menatapku sekejap. Aku masih kesal dengan kelakuannya kemarin. Dia begitu bencinya padaku sampai tak menyadari jika diriku sangat sensitif akan apa yang ia lakukan. Aku pikir dia sudah menganggapku normal sebagai manusia yang biasa ada di sekitarnya. Namun, sepertinya butuh waktu beribu-ribu jam untuknya melakukan hal itu padaku. Sangking dahsyatnya kebohongan yang aku dan dia buat, membuat jalur hidup ku dan dia terganggu setiap kali bertemu. Sulit bagiku mengucapkan kata ganti orang pertama dan kedua yang jamak itu. Mungkin kata itu hanya bisa aku gunakan di masa laluku. Sekarang dia hanya bisa mengobrol dengan sebuah kelompok kecil di ruangan. Hal itu masih membuatku merasa cemburu. Cemburu karena dia selalu saja membedakan diriku dengan orang lain. Aku tidak tahu apa karena kondisi fisikku atau apapun itu. Rasanya aku tidak pernah mendapatkan kesempurnaan darinya. Kecerobohan. H...