Boy #2

Kau tidak pernah jauh dariku. Tapi rohmu terus menjauh dariku. Dan jujur, sejujur-jujurnya aku pernah mempermainkan ucapanku sendiri tentang dirimu. Aku hanya bosan mendengar namamu dengan namaku di ucapkan dalam satu kalimat. Dan orang-orang yakin akan kebohonganmu itu. Aku... Aku... Aku juga ikut membuat kebohongan yang sama seperti yang kau lakukan. Aku hanya mengucapkan satu kalimat yang menjadi doa hingga hari ini. Ucapan itu hanya berupa kalimat sederhana yang ku ucapkan dengan tawa tanpa pemikiran sebelumnya. Kalimat itu "Ku harap dia datang dan menemaniku" hanya itu.
Saat itu aku duduk sendiri. Menatap lapangan kosong. Menatap tetesan-tetesan air hujan yang jatuh. Duduk manis sendiri sambil mencoba menghangatkan diri. Hari itu masih terlalu pagi dari jadwal yang ditentukan. Aku menatap layar handphone. Aku sedang mengaktifkan salah satu akun miliku dengan menggunakan Wi-Fi. Hari itu tepat hari ulang tahun temanku. Tadinya kami hanya mengobrol ringan dan bercanda, tapi hujan tiba-tiba membesar dan temanku tiba-tiba membicarakan dirinya. Karena kekesalan akan namanya yang terus disandingkan dengan namaku, aku menyeletuk sebisaku dan asal mengiyakan ucapannya. Tanpa aku sadari temanku percaya begitu saja ucapanku.
Keesokkan harinya temanku terus menggodaku. Dan aku pikir jika mulai detik itulah aku memulainya. Perasaan itu timbul begitu saja. Orang-orang mulai menjadi-jadi. Mereka terus saja mengucapkan nama kami dalam satu kalimat. Aku hanya diam dan melihat respons apa yang akan ia tunjukan. Dia malah menjadi super pendiam. Aku pun tak ingin mengganggunya. Aku jalani hari-hari dengan kalimat tanya dari banyak orang tentang kami. Dan selalu ku jawab dengan sebuah gelengan kepala ataupun sebuah kata "tidak" karena itu kenyataannya.
Yang aku suka dari dirinya adalah matanya. Matanya yang selalu menatapku tajam. Bukannya aku takut aku justru sangat menikmatinya. Lewat tatapan itu aku merasakan jika dirinya berusaha mengatakan sesuatu padaku. Sekalipun aku tidak mengerti apa yang dia maksud dengan menatapku setajam itu dia tetap seperti itu. Terkadang aku tertawa sendiri mengingat seberapa banyak tatapan tajamnya dalam sehari.
Dia memang baik tapi dingin. Aku tidak bisa mengehentikan rasa ini. Jauh dilubuk hatiku aku terus meyakinkan diriku jika aku semua ini hanya candaku dan selama hidupku ini hanya mencari satu laki-laki yang selalu ku percaya. Dan aku berusaha agar aku tidak jatuh hati kepada laki-laki lain lagi. Tapi, entah kenapa otakku menganggap dia adalah sosok yang sempurna bagai sinar rembulan purnama.
Aku senang ketika dia tiba-tiba peduli padaku. Memberikan perhatian lebih padaku. Mengajakku bergurau santai ala dirinya. Dan kekesalanku setiap kali aku bertanya orang lain padanya yang ia balas dengan jawaban sinis dan mata yang penuh selidik. Hah, beruntung ketika itu aku menganggapnya sempurna.
Aku sering memanggilnya dengan sebutan 31100 mungkin rumit tapi itulah inisial yang tidak mungkin orang lain tahu. Dan selama ini aku sering bercerita tentangnya tapi dengan inisial ini sehingga orang lain menganggapnya orang yang berbeda.
Kembali pada kenyataan yang aku terima hari ini. Dia sudah memunculkan wujudnya di mataku. Seperti hari-hariku sebelumnya, dia datang tanpa setitik senyum bahkan ia tidak menatapku.
Hari ini kami, maaf maksudku aku dan dia berdiri di lapang yang sama bukan karena sebuah hukuman tapi sebuah kewajiban mungkin kalian tahu hari apa yang ku maksud. Aku nyaris berdiri sejajar dengan dirinya. Benar-benar nyaris. Selama setengah jam aku hanya bisa melihat punggungnya yang ditutupi dengan baju berwarna putih itu. Sesekali ia menatap ke bawah. Aku mengerti apa yang berusaha ia maksud, dia sedang berusaha meledekku. Aku hanya dia berpura-pura tidak mengerti apa yang ia maksud. Aku sudah terbiasa dengan ledekkannya yang seperti itu. Selama setengah tahun aku mempelajari gesturnya, jadi wajar jika aku memahami bahasa tubuhnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Boy #3

#VoiceGirlHeartBoy

Girl #3